JENIS-JENIS
KONSERVASI
Dalam pelaksanaan konservasi
terhadap kawasan/ bangunan cagar budaya, maka ada tindakan-tindakan khusus yang
harus dilakukan dalam setiap penanganannya (Burra Charter, 1999), antara lain:
1.
Konservasi yaitu semua
kegiatan pemeliharaan suatu tempat sedemikian rupa sehingga mempertahankan
nilai kulturalnya
2.
Preservasi adalah
mempertahankan bahan dan tempat dalam kondisi eksisting dan memperlambat
pelapukan
3.
Restorasi/Rehabilitasi
adalah upaya mengembalikan kondisi fisik bangunan seperti sediakala dengan
membuang elemen-elemen tambahan serta memasang kembali elemen-elemen orisinil
yang telah hilang tanpa menambah bagian baru
4.
Rekonstruksi yaitu
mengembalikan sebuah tempat pada keadaan semula sebagaimana yang diketahui
dengan menggunakan bahan lama maupun bahan baru dan dibedakan dari restorasi
5.
Adaptasi/Revitalisasi
adalah segala upaya untuk mengubah tempat agar dapat digunakan untuk fungsi
yang sesuai
6.
Demolisi adalah
penghancuran atau perombakan suatu bangunan yang sudah rusak atau membahayakan.
7.
Tabel Jenis Kegiatan dan Tingkat
Perubahan
tabel 1.1. Jenis kegiatan dan tingkat perubahan
No.
|
Jenis Kegiatan
|
Tingkat Perubahan
|
|||
Tidak Ada
|
Sedikit
|
Banyak
|
Total
|
||
1
|
Konservasi
|
√
|
√
|
√
|
√
|
2
|
Preservasi
|
√
|
–
|
–
|
–
|
3
|
Restorasi
|
–
|
√
|
√
|
–
|
4
|
Rekonstruksi
|
–
|
–
|
√
|
√
|
5
|
Adaptasi/Revitalisasi
|
–
|
√
|
–
|
–
|
6
|
Demolisi
|
–
|
–
|
–
|
√
|
UU RI No. 5/1992:
·
Ketentuan umum mengenai Benda Cagar
Budaya, Situs dan Lingkungan Cagar Budaya
·
Tujuan pelestarian:
melindungi dan memanfaatkan benda cagar budaya untuk memajukan kebudayaan
nasional Indonesia
·
Berdasar Perda No. 9 Tahun 1999
Tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Cagar Budaya, Pelestarian
lingkungan cagar budaya dibagi dalam 3 (tiga) golongan, yaitu:
·
lingkungan cagar budaya gol 1
·
lingkungan cagar budaya gol 2
·
lingkungan cagar budaya gol 3
CONTOH KAWASAN KONSERVASI
ARSITEKTUR:
Gambar 1.1. Exterior museum bahari
sumber: google maps museum bahari, (2018)
Museum Bahari
Museum
Bahari adalah museum yang menyimpan koleksi yang berhubungan
dengan kebaharian dan kenelayanan bangsa Indonesia
dari Sabang hingga Merauke yang berlokasi di seberang
Pelabuhan Sunda Kelapa, tepatnya di jalan Pasar Ikan, Jakarta Utara,
menghadap ke Teluk Jakarta. Museum ini adalah salah satu dari delapan museum
yang berada di bawah pengawasan dari Dinas Kebudayaan Permuseuman Provinsi
Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Sejarah Museum
Bahari
Masa penjajahan yang ada di
Indonesia menyisakan berbagai macam peninggalan, terutama dalam wujud
arsitektur bangunan. Salah satu fungsi bangunan yang cukup penting pada masa
tersebut adalah gudang penyimpanan rempah-rempah. Para penjaajah datang ke
Indonesia salah satunya adalah untuk mengambil hasil rempah-rempah yang
dihasilkan dari Indonesia (sebagai negara yang menghasilkan rempah-rempah
terbesar). Sebelum akhirnya rempah-rempah tersebut diimport atau diekspor ke
mancanegara, rempah-rempah di simpan di dalam suatu tempat/gudang penyimpanan.
Gudang penyimpanan terletak pada daerah yang dekat dengan pelabuhan hal ini
untuk memudahkan akses penyimpanan. Museum Bahari adalah bangunan yang
dialihfungsikan dari gudang penyimpanan rempah-rempah peninggalan zaman
penjajah dan dijadikan bangunan museum yang berisi dengan barang-barang
bersifat kelautan.
Pada masa
pendudukan Belanda, gedung Museum Bahari semula adalah gudang yang
berfungsi untuk menyimpan, memilih dan mengepak hasil bumi, seperti
rempah-rempah kopi, teh, tembaga, timah, dan tekstil yang merupakan komoditi
utama VOC yang sangat laris di pasaran Eropa. VOC membangun gedung ini secara
bertahap sejak 1652 hingga 1759.
Gedung Museum Bahari ini sudah
mengalami beberapa perubahan. Tahun perubahan itu dapat dilihat pada
pintu-pintu masuk. Di antaranya tahun 1718, 1719 dan 1771. Pada masa pendudukan
Jepang, tepatnya ketika perang dunia II meletus (1939-1945) gudang tersebut
menjadi tempat logistik peralatan militer tentara Dai Nippon. Setelah Indonesia
Merdeka difungsikan untuk gudang logistik PLN (Perusahaan Listrik Negara) dan
PTT (Post Telepon dan Telegram). Pada 1976 kompleks gedung ini diserahkan
kepada pemerintah DKI Jakarta yang kemudian dipersiapkan sebagai sebuah museum.
Museum Bahari diresmikan pemakaiannya pada 7 Juli 1977.
Luas tanah bangunan ini sekitar
9.000 m2 dan luas bangunannya mencapai 16 ribu m2.
Bangunan ini sudah tiga kali di renovasi, yaitu tahun 1976, 1980, dan 2009.
Meski telah direnovasi, tapi tidak menghilangkan ciri khas dari museumnya.
Museum Bahari ini memiliki keunikan yaitu keberadaan koleksi kapal yang sudah tak diproduksi lagi. Di perut Museum Bahari tersimpan benda-benda sejarah berupa kapal dan perahu-perahu asli maupun miniatur. Mengingatkan kepada kita bahwa sejak jaman dahulu kala ‘nenek moyangku seorang pelaut’. Ada kebanggaan ‘kebaharian’ dari bangsa pemberani di dalam mengarungi samudra luas dan ganas. Selain itu, dari segi arsitekturnya bangunan ini memiliki ciri khas bangunan yang terbuat dari kayu.
Museum Bahari ini memiliki keunikan yaitu keberadaan koleksi kapal yang sudah tak diproduksi lagi. Di perut Museum Bahari tersimpan benda-benda sejarah berupa kapal dan perahu-perahu asli maupun miniatur. Mengingatkan kepada kita bahwa sejak jaman dahulu kala ‘nenek moyangku seorang pelaut’. Ada kebanggaan ‘kebaharian’ dari bangsa pemberani di dalam mengarungi samudra luas dan ganas. Selain itu, dari segi arsitekturnya bangunan ini memiliki ciri khas bangunan yang terbuat dari kayu.
Tentu kita bertanya-tanya mengapa
Museum Bahari ini perlu dilakukan konservasi?
Alasan mengapa bangunan Museum
Bahari ini perlu untuk dikonservasi dikarenakan bangunan ini menyimpan banyak
kenangan tentang cagar budaya masa lalu dari bangsa Indonesia. Dengan
berkunjung ke Museum Bahari pengunjung akan mengetahui sejarah dan begitu banyak
kekayaan yang dimiliki Bangsa Indonesia. Bermacam-macam koleksi dipamerkan pada
museum ini. Hanya dengan melihatnya pengunjung akan mendapatkan kenangan yang
berharga. Tidak ketinggalan pula pesona kawasan kota tua akan dapat
membangkitkan kenangan terhadap bangsa lain yang pernah menjajah bangsa kita di
masa lalu. Berlandaskan alasan tersebut sangatlah layak dilakukan
konservasi terhadap Museum Bahari ini.
Arahan pelestarian bangunan.
Arahan pelestarian bangunan
bersejarah di Kawasan Museum Bahari dirumuskan berdasarkan pertimbangan faktor
penyebab perubahan fisik bangunan bersejarah. Adapun arahan pelestarian
bangunan bersejarah di Kawasan Museum Bahari adalah sebagai berikut :
- Penyusunan pedoman tata cara pemeliharaan bangunan kuno-bersejarah termasuk memuat bagian-bagian bangunan yang harus dipertahankan keasliannya. Hal ini bertujuan agar setiap bangunan bersejarah memiliki perlindungan yang jelas, sah dan mengikat sehingga apabila terjadi pergantian kepemilikan bangunan di sekitar Museum Bahari, perubahan fisik bangunan oleh pemilik baru dapat dicegah. Juga dengan pemberian sanksi yang tegas kepada pemilik bangunan yang melakukan perubahan pada bangunan bersejarah.
- Memberikan informasi yang jelas mengenai pentingnya pelestarian bangunan bersejarah secara rutin kepada masyarakat melalui publikasi atau penyuluhan dan mengajak pemilik bangunan untuk ikut berperan aktif dalam pelestarian bangunan bersejarah di kawasan.
- Pemberian insentif kepada pemilik bangunan yang telah berperan serta dalam menjaga kelestarian fisik bangunan dan kawasan, melalui pemberian bantuan dana perawatan bangunan, subsidi atau pemberian keringanan retribusi.
- Pemberian penghargaan dari pemerintah kepada pemilik bangunan atau masyarakat yang telah berperan aktif dalam pelestarian bangunan bersejarah, penghargaan dapat berupa piagam, publikasi, subsidi untuk pemeliharaan bangunan.
- Mempertahankan bentuk fisik bangunan 100% seperti apa adanya dan melakukan pemeliharaan dan perlindungan orisinalitas bentuk bangunan. Memperbaiki fisik bangunan yang telah terjadi kerusakan dengan tetap menjaga bentuk asli bangunan.
- Membuat acara-acara bulanan atau tahunan yang berskala nasional untuk promosi kawasan.
- Pemerintah dapat mengambil alih kepemilikan serta pengelolaan bangunan kuno yang terbengkalai atau pemilik tidak mampu lagi melakukan perawatan.
Gambar 1.2. Lokasi Museum Bahari dilihat
dari peta
Sumber : google maps museum bahari, (2018)
|
Museum Bahari terletak di Jl.
Pasar Ikan. Museum ini berbatasan dengan :
·
Sebelah utara : Rumah warga
·
Sebelah timur : Rumah warga dan
warung perniagaan
·
Sebelah selatan : Pasar dan
Menara Syahbandar
·
Sebelah barat : Teluk Jakarta
Terlihat dengan jelas bahwa museum
ini di kelilingi oleh rumah warga karena letak dari museum ini yang menjorok ke
dalam. Area terbuka sangat kurang pada kawasan ini sehingga membuat suhu
menjadi panas karena didukung juga oleh jalan raya yang tidak jauh dari lokasi
bangunan.
Gambar 1.3. Unit bangunan pada Museum
Bahari
Sumber : google maps museum bahari, (2018)
|
Museum Bahari memiliki luas tanah
sekitar 9.000 m2 dan luas bangunannya mencapai 16 ribu m2.
Bangunan ini terdiri dari 4 unit bangunan, bangunan 1 sebagai museum, lobby,
toilet dan musholla, bangunan 2 sebagai museum, bangunan 3 sebagai museum, dan
bangunan 4 sebagai kantor dan hall.
Museum Bahari menyimpan 126
koleksi benda-benda sejarah kelautan. Terutama kapal dan perahu-perahu niaga
tradisional. Di antara puluhan miniatur yang dipajang terdapat 19 koleksi
perahu asli dan 107 buah miniatur. Juga peralatan yang digunakan oleh pelaut di
masa lalu seperti alat navigasi, jangkar, teropong, model mercusuar dan meriam.
Museum Bahari juga menampilkan
koleksi biota laut, data-data jenis dan sebaran ikan di perairan Indonesia dan
aneka perlengkapan serta cerita dan lagu tradisional masyarakat nelayan
Nusantara. Museum ini juga menampilkan matra TNI AL, koleksi kartografi, maket
Pulau Onrust, tokoh-tokoh maritim Nusantara serta perjalanan kapal KPM Batavia
– Amsterdam.
Jumlah koleksinya sekitar 1835
buah. Secara tematik, tata pamer koleksi dan informasi terbagi ke dalam
sejumlah pembagian ruang, yaitu:
- Ruang Masyarakat Nelayan Indonesia
2.
Ruang Teknologi Menangkap Ikan
Koleksi yang dipamerkan: pancing, bubu, dan jaring.
3.
Ruang Teknologi Pembuatan Kapal
Tradisional.
Koleksi yang dipamerkan: teknologi dan sentra pembuatan kapal.
4.
Ruang Biota Laut.
Koleksi yang dipamerkan: aneka jenis ikan, kerang, tumbuhan laut, dan
dugong.
5.
Ruang Pelabuhan Jakarta 1800-2000
(Pusat Perdagangan Dunia).
Koleksi yang dipamerkan: artefak-artefak yang berhubungan dengan kesejarahan pelabuhan di
Jakarta pada rentang tersebut, termasuk meriam, keramik, dan benteng.
6.
Ruang Navigasi.
Koleksi yang dipamerkan: kompas, teleskop, dan sejumlah alat bantu navigasi.
7.
Pelayaran Kapal Uap
Indonesia-Eropa.
Koleksi yang dipamerkan : foto-foto dokumentasi mengenai pelayaran kapal uap
pertama dari Eropa ke Asia.
Langgam
Museum Bahari
menggunakan ciri khas bangunan kolonial Belanda, gaya The Empire Style (khas
Eropa) merupakan gaya yang dipakai pada masa itu untuk menunjukan eksistensinya
di daerah kekuasaannya (Indonesia). Namun iklim di Indonesia berbeda dengan
iklim di Belanda, oleh karena itu pada bangunan ini ditambahkan atap pelana.
Penambahan atap ini akhirnya membuat suatu gaya arsitek baru yang dikenal
dengan gaya Hindi Belanda.
Gaya arsitektur The
Empire Style adalah suatu gaya arsitektur neo-klasik yang melanda
Eropa (terutama Prancis, bukan Belanda) yang diterjemahkan secara bebas. Di
Indonesia gayanya menghasilkan gaya baru yang disebut gaya Hindia Belanda
(Indonesia) artinya bergaya kolonial namun disesuaikan dengan lingkungan lokal
dengan iklim dan tersedianya material pada waktu itu (Akihary dalam Handinoto,
1996: 132).
Ciri-cirinya
antara lain denah yang simetris, satu lantai dan ditutup dengan atap perisai.
Karakteristik lain dari gaya ini diantaranya : terbuka, terdapat pilar di
serambi depan dan belakang, terdapat serambi tengah yang menuju ke ruang tidur
dan kamar-kamar lain. Ciri khas dari gaya arsitektur ini yaitu adanya barisan
pilar atau kolom (bergaya Yunani) yang menjulang ke atas serta terdapat gevel
dan mahkota di atas serambi depan dan belakang. Serambi belakang seringkali
digunakan sebagai ruang makan dan pada bagian belakangnya dihubungkan dengan
daerah servis (Handinoto, 1996: 132-133).
Gaya ini dapat pula ditemukan
pada Museum Bahari, berikut ulasannya :
- a)Dinding
Dinding pada Museum Bahari
memiliki hingga 20 cm. seluruh warna pada dinding baik eksterior maupuninterior adalah
berwarna putih.
Gambar 1.4. exterior museum bahari
Sumber : google image museum bahari, (2018)
|
- b)Kolom
Pada Museum Bahari ini
menggunakan kolom yang terbuat dari kayu jati dengan ketebalan 20-30cm. Kolom
kayu kokoh ini membuat kesan bangunan ini elegan dan khas Indonesia.
Gambar 1.5. Kolom pada Museum Bahari
Sumber : google image museum bahari, (2018)
|
- c)Elemen hard material
Pada bagian entrance (pintu
masuk) terdapat sepasang jangkar kapal. Jangkar ini lumayan besar setinggi
±80cm dan berwarna hitam. Jangkar ini sebagai penanda bahwa di dalam bangunan
ini terdapat menyimpan sesuatu yang berhubungan dengan kebaharian dan
kenelayanan bangsa Indonesia.
gambar 1.6. Terdapat sepasang jangkar pada bagian entrance
Sumber : google image museum bahari, (2018)
1. d)Pintu
Pintu yang digunakan berbentuk dome dan terbuat dari kayu jati dan kusennya terbuat dari batu. elemen lengkung (arch) sangat meninjolkan bangunan khas Eropa pada saat itu. Hampir seluruh pintu yang yang terdapat di museum berbentuk "dome".
gambar 1.7. pintu museum bahari
sumber: google image museum bahari, (2018)
KESIMPULAN
Pada awalnya konsep konservasi terbatas pada
pelestarian benda-benda/monumen bersejarah (biasa disebut preservasi). Namun
konsep konservasi tersebut berkembang, sasarannya tidak hanya mencakup monumen,
bangunan atau benda bersejarah melainkan pada lingkungan perkotaan yang
memiliki nilai sejarah serta kelangkaan yang menjadi dasar bagi suatu tindakan
konservasi.
Konservasi dengan demikian sebenarnya
merupakan pola upaya preservasi namun dengan tetap memanfaatkan kegunaan dari
suatu tempat untuk menampung/memberi wadah bagi kegiatan yang sama seperti
kegiatan asalnya atau bagi kegiatan yang sama sekali baru sehingga dapat
membiayai sendiri kelangsungan eksistensinya. Dengan kata lain konservasi suatu
tempat merupakan suatu proses daur ulang dari sumber daya tempat tersebut.
Beberapa kriteria umum yang bisa digunakan untuk menentukan
obyek yang perlu dilestarikan:
|
DAFTAR
PUSTAKA
|